……Orang Banjar dahulu mempunyai pamali atau pantangan dengan menyatakan jangan maayun anak dekat kuburan nanti kapidaraan….seharusnya di masjid agar anak yang diayun hatinya terpaut dengan masjid…. Pada hari Selasa, 15 Februari 2011 di beberapa tempat di Kalsel akan diselenggarakan tradisi baayun maulid yakni kegiatan mengayun anak (maayun anak) bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw (12 Rabiul Awal 1432 H). Baayun asal katanya “ayun’ yang diartikan “melakukan proses ayunan”. Bayi yang mau ditidurkan dalam ayunan biasanya akan diayun oleh ibunya Asal kata maulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, baayun maulid diartikan sebagai kegiatan mengayun bayi atau anak sambil membaca syair maulid atau bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Orang Banjar, kadang menyebut maulid dengan sebutan mulud, sehingga disebut baayun mulud atau ayun mulud.
Selain Kuin Utara Banjarmasin, tradisi baayun maulid tahun ini akan dilaksanakan di Masjid Jami Teluk Dalam, Banjarmasin, dan di Masjid Al Mukarramah desa Banua Halat Kiri, Kecamatan Tapin Utara Kabupaten Tapin. Perbedaannya adalah jika di Teluk Dalam dan di Banua Halat bertempat di masjid, maka di Kuin Utara mengambil tempat di areal komplek pekuburan yakni Komplek Makam Sultan Suriansyah.
Pengaruh Tradisi Pra Islam
Prosesi maayun anak pada tradisi baayun maulid sesungguhnya menggambarkan adanya akulturasi budaya antara unsur kepercayaan lama dan Islam. Sebelum mendapat pengaruh Islam, maayun anak sudah dilaksanakan ketika masyarakat masih menganut kepercayaan nenek moyang (ancestor worship).
Tradisi asalnya dilandasi oleh kepercayaan Kaharingan. Dalam perkembangannya, upacara maayun anak mengalami akulturasi dengan agama Hindu dan Islam. Hal tersebut dapat dibedakan dari: (a) maksud dan tujuan upacara; (b) Pelaksanaan upacara; (c) Perlengkapan upacara; (d) Perlambang atau simbolika yang dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan Kaharingan, Hindu, dan Islam.
Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan. Dan ketika agama Hindu berkembang di daerah ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh pertujukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil melagukan syair madihin).
Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat pengaruh unsur Islam. Menurut Alfani Daud (1997) seorang bayi yang baru lahir dinyatakan sebagai anak bidan sampai dilaksanakannya upacara bapalas bidan, yakni suatu upacara pemberkatan yang dilakukan oleh bidan terhadap si bayi dan ibunya.
Selain dilaksanakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di perdesaan, upacara bapalas bidan juga dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir, orang Dayak Meratus kemudian melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni memberi hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah mulai berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak tanah, tetap dipimpin oleh balian.
Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika bayi berumur 40 hari. Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga merupakan penebus atas darah yang telah tumpah ketika melahirkan. Dengan pelaksanaan palas bidan ini diharapkan tidak terjadi pertumpahan darah yang diakibatkan oleh kecelakaan atau perkelahian di lingkungan tetangga maupun atas keluarga sendiri. Karena menurut kepercayaan darah yang tumpah telah ditebus oleh si anak pada upacara bapalas bidan tersebut.
Pada upacara bapalas bidan ini si anak dibuatkan buaian (ayunan) yang diberi hiasan yang menarik, seperti udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai bentuk, serta digantungkan bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan lain-lain.
Kepada bidan yang telah berjasa menolong persalinan itu diberikan hadiah segantang beras, jarum, benang, seekor ayam (jika bayi lahir laki-laki, maka diserahkan ayam jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji kelapa, rempah-rempah dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir, tembakau dan berupa uang.
Karena memang berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara perlengkapan baayun maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan dengan perlengkapan langgatan pada acara tradisional aruh ganal yang yang dilaksanakan orang Dayak Meratus.
Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak tidak dilarang, hanya kebiasaan yang tidak sesuai sedikit demi sedikit ditinggalkan. Begitupula berbagai perlengkapan, maksud dan tujuan, dan perlambang (simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam. Maayun anak kemudian dilaksanakan bersama-sama di mesjid bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw.
Mengapa Harus di Mesjid?
Dibanding baayun maulid yang diselenggarakan di Kuin, tradisi baayun maulid di masjid Banua Halat sudah berlangsung lama, sejak ratusan tahun silam. Meski para ulama sepakat bahwa peringatan maulid nabi tidak pernah dilaksanakan di masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, generasi sahabat, dan bahkan masa tiga generasi sesudahnya, namun umat muslim melaksanakannya sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya atas kelahiran Nabi Muhammad Saw yang membawa rahmat bagi sekalian alam. Adanya puji-pujian dan shalawat yang menyertai peringatan maulid nabi merupakan sebuah simbol akan kecintaan kepada nabi dan sekaligus harapan umat Islam yang selalu mengenang, meneladani kehidupan, dan mengharap syafaat dari Rasulullah kelak di yaumil akhir kelak.
Terlepas dari motif masing-masing peserta baayun yang nota bene diikuti oleh orang-orang tua, maka maksud maayun anak bersamaan dengan peringatan maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi sekaligus berharap berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad Saw, disertai doa agar sang anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta kehidupannya sejak kecil maupun dewasa hatinya selalu terpaut untuk selalu sholat berjamaah di masjid.
Mengacu kepada contoh penyelenggaraan baayun maulid di masjid Banua Halat, maka jelas sekali bahwa penyelenggaraan baayun maulid di komplek Makam Sultan Suriansyah yang nota bene komplek pekuburan kurang selaras dengan filosofi agar anak yang diayun hatinya terpaut dengan masjid. Apalagi orang Banjar dahulu mempunyai pamali atau pantangan dengan menyatakan jangan maayun anak dekat kuburan nanti kapidaraan (diganggu makhlus halus/roh orang mati).
Oleh karena itu, maka seyogyanya tradisi baayun maulid yang diselenggarakan sekitar 7 tahun terakhir di komplek Makam Sultan Suriansyah, hendaknya untuk tanggal 15 Februari 2011 mendatang dipindah lokasinya ke Masjid Sultan Suriansyah. Sedangkan lokasi yang ditinggalkan tetap dapat difungsikan yakni sebagai lokasi haul Sultan Suriansyah dan keluarga raja-raja Banjar lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar