Perspektif Orang Banjar Terhadap Bulan Safar (Pendekatan Sejarah dan Budaya)
Oleh : Zulfa Jamalie
(Pengurus Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar)
Pengantar
Tulisan berikut ini adalah ringkasan dari hasil penelitian “mandiri” yang penulis lakukan dalam rentang beberapa masa yang lumayan panjang berkenaan dengan Perspektif Orang Banjar Terhadap Bulan Safar (Pendekatan Sejarah dan Budaya). Penelitian ini merupakan rangkaian dari penelitian sebelumnya yang juga telah penulis lakukan dan publikasikan, yakni Bagampiran dan Kepercayaan Masyarakat Banjar Terhadap Roh. Karena itu, penelitian ini penulis rasa penting untuk diekspos sebagai bahan informasi kepada para pembaca dan sharing bagi mereka yang berminat mengkaji bingkai agama, sejarah, dan budaya dalam kehidupan orang Banjar.
Mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan? Jika kita amati, ada sesuatu yang menarik berkenaan dengan pemahaman orang Melayu (umumnya) dan orang Banjar (khususnya) tentang bulan Safar. Bagi orang Banjar, bulan Safar dianggap sebagai bulan “sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya”. Karena pada bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih dibanding pada bulan lainnya. Sehubungan dengan anggapan yang demikian ada beberapa pertanyaan menarik yang bisa kita ajukan berkenaan dengan bulan Safar. Benarkah bulan Safar bulan sial, bulan nahas, bulan panas, atau bulan bala? Apa sebab orang Banjar menganggap bulan Safar sebagai bulan sial atau bulan bala? Darimana sumber pemahaman orang Banjar terhadap bulan Safar?
Bulan Safar
Safar adalah salah satu nama bulan dari dua belas bulan dalam kalender Islam atau tahun Hijriyah. Safar berada diurutan kedua sesudah bulan Muharam. Menurut bahasa Safar berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong) untuk berperang ataupun bepergian jauh. Ada pula yang menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan. Pendapat lain menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Bagaimana perspektif orang Banjar terhadap bulan Safar? Ada banyak hal menarik anggapan dan kepercayaan orang Banjar terhadap bulan Safar, di antara yang terpenting dari pemahaman bulan Safar tersebut berkaitan dengan hari Rabu, terutama Rabu terakhir, yang biasa disebut dengan Arba Musta’mir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Rabu terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan sebuah referensi klasik disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Hawash Abdullah (1982) dalam bukunya Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara menulis bahwa dalam kitab-kitab Islam memang banyak yang menyebut adanya ‘bala’ yang diturunkan pada bulan Safar. Misalnya, Syekh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani yang menyalin perkataan ulama menyatakan dalam kitabnya Al-Bahjatul Mardhiyah, tentang turunnya bala di bulan Safar. Tersebut pula dalam kitab Al-Jawahir, diturunkan bala pada tiap-tiap tahun sebanyak 320.000 bala dan sekalian pada hari Rabu yang terakhir pada bulan Safar, maka hari itu terlebih payah daripada setahun”. Tulisan tentang bala yang diturunkan pada bulan Safar ini juga bisa ditemukan dalam kitab Jam’ul Fawaaid, tulisan Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Dalam kitab yang lain ada pula disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negatif (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Karenanya menjadi semacam kebiasaan bagi orang Banjar untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari kesialan pada hari itu, misalnya:
1. Shalat sunnat mutlak disertai dengan pembacaan doa tolak bala
2. Selamatan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum
3. Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Menurut informasi, kebiasaan mandi Safar ini dilakukan oleh mereka yang berdiam di daerah pinggiran sungai atau batang banyu.
4. Tidak melakukan atau bepergian jauh
5. Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan atau pamali, dan sebagainya.
Bagi orang Jawa, untuk menyambut Arba Wekasan biasanya dilakukan dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala. Karena ada hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa “sedekah dapat menolak bala”.
Hal lain yang juga menarik untuk diamati adalah, adanya anggapan orang Banjar bahwa anak-anak yang dilahirkan pada hari Rabu bulan Safar, jika sudah agak besar akan menjadi anak yang nakal dan hyperactive, sehingga untuk mencegah anak tersebut agar tidak nakal, disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang). Seberapa berat badan anak tersebut nantinya diganti (sebagai tebusan) dengan bahan makanan untuk disedekahkan ataupun dibacakan doa selamat.
Boleh jadi, bermula dari sinilah kemudian muncul berbagai anggapan berkenaan dengan bulan Safar, yang intinya sama. Bulan Safar sebagai “bulan nahas, bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala dan penyakit, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya”. Karena pada bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dibanding pada bulan lainnya. Terlebih-lebih lagi tatkala memasuki hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang dinamakan dengan Arba Musta’mir atau dalam bahasa Jawa disebut Arba Wekasan.
Anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan yang tidak baik, memang dipahami secara umum oleh orang-orang Melayu sebagaimana paham dari orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu. Khusus bagi orang Banjar, mengapa mereka beranggapan bulan Safar sebagai bulan “panas dan sial”? Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan, sebab-musabab munculnya anggapan seperti itu:
Pertama, masa atau waktu ketika ilmu-ilmu magis masih hidup dan berada pada zamannya, konon menjadi semacam kebiasaan dalam masyarakat Banjar orang-orang tertentu yang menguasai ilmu sihir (semacam guna-guna, teluh, santet, atau parang maya) melakukan ritual khusus untuk mengirimkan ilmunya kepada orang lain dengan tujuan tertentu pada bulan Safar. Pada bulan Safar katanya ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibanding pada bulan yang lain, dan orang yang terkena ilmu itupun akan susah untuk disembuhkan. Jika tujuan pelepasan ilmu untuk membuat orang yang terkena sakit maka akan sakit, jika untuk membuat orang terpikat maka akan terpikat, bahkan keampuhan pikatan tersebut bisa membuat orang yang terkena tergila-gila, dan seterusnya.
Kedua, orang Banjar adalah orang yang memiliki keterikatan kuat dengan dunia gaib, karena itu pada orang Banjar (hingga sekarang) masih ditemui mereka-mereka yang memiliki hubungan khusus dengan orang gaib atau orang halus (yang terdiri dari bangsa jin atau orang-orang terkenal zaman dulu yang berpindah tempat dan menjadi orang gaib, misalnya raja-raja Banjar, orang sakti, datu-datu, dan sebagainya), melalui pengakuan sebagai keturunan (tutus) ataupun bagampiran. Hubungan dengan dunia gaib tersebut juga terjalin melalui benda-benda tertentu yang terkadang mereka warisi secara turun-temurun, misalnya keris, besi tuha, minyak, dan sebagainya. Bahkan perwujudan dari hubungan tersebut juga ada berupa “peliharaan gaib” yang menjadi sahabat mereka, misalnya berupa buaya atau ular gaib. Baik benda ataupun peliharaan gaib yang menjadi media penghubungan dan keterikatan orang Banjar dengan dunia gaib tersebut tidak semuanya membawa aroma positif, sebagian di antaranya ada pula yang membawa aroma magis negatif. Benda-benda atau peliharaan gaib tersebut biasanya minta dijaga, dipelihara, dan diberi makan melalui ritual-ritual tertentu. Apabila yang bersepakat menjaga dan memelihara dia lupa memberi makan atau menyediakan sesuatu yang sudah dipesankannya, biasanya ada salah seorang anggota keluarganya yang jatuh sakit, kesurupan, bahkan semacam terkena “kutukan”, misalnya mati tenggelam, hilang di tengah hutan, tersesat di alam gaib, di sambar buaya, dan sebagainya, sesudah sebelumnya diberi tanda. Ritual untuk “memberi makanan gaduhan” ini dilakukan satu tahun sekali, dan biasanya pada bulan Safar.
Ketiga, ada pula yang meyakini, bahwa sebagian dari benda-benda gaib tersebut tidak memiliki tuan yang menjaga, memelihara, dan memberi mereka makan sebagai gaduhan, benda-benda gaib ini bersifat liar. Akibatnya, karena tidak ada yang menggaduh dan melaksanakan ritual memberi makan kepada mereka, mereka akhirnya mencari sendiri. Bulan pelepasan dan kebebasan mereka diyakini oleh orang Banjar pada bulan Safar, itulah sebabnya pituah orang bahari kepada sanak keluarga mereka untuk selalu hati-hati dan waspada jika menghadapi atau memasuki bulan Safar.
Keempat, orang Banjar juga meyakini bahwa mereka yang memiliki gaduhan berupa racun melepaskan gaduhan (racunnya) tersebut pada bulan Safar. Karena itu dianggap pamali untuk makan atau jajan disembarang tempat, ditakutkan jika terkena racun gaduhan tersebut.
Menurut penulis, boleh jadi lahirnya pemahaman di atas karena memang banyak kasus atau kejadian yang menimpa orang Banjar dan kebetulan pas di bulan Safar. Sehingga karena seringnya terjadi apa yang ditakuti oleh orang Banjar di atas pada bulan Safar, lalu mereka menjustifikasi bulan Safar sebagai bulan yang penuh kesialan, marabahaya, dan seterusnya. Akibatnya, dalam perspektif orang Banjar, bulan Safar adalah bulan yang harus diwaspadai dan ditakuti, sehingga dianggap pamali (pantang) bagi orang Banjar untuk melakukan kegiatan-kegiatan penting di bulan Safar, misalnya:
1. Melangsungkan perkawinan,
2. Memulai pembangunan (batajak) rumah
3. Menurunkan kapal (nelayan) untuk melaut mencari ikan
4. Bepergian jauh (madam) untuk mencari penghidupan yang lebih baik
5. Memulai berusaha, memulai untuk berdagang, bercocok tanam, mendulang (emas atau intan), dan sebagainya.
Sebab, akhir dari semua kegiatan tersebut dalam pemahaman mereka adalah (kebanyakannya lebih kepada) kegagalan atau kesusahan, dan Khusus bagi mereka yang mendulang sangat rentan terkena racun atau wisa.
Berbagai ragam tradisi budaya dan ritual diberbagai daerah di Nusantara juga mewarnai anggapan terhadap bulan Safar. Di daerah Ulakan, Minangkabau (Sumatera Barat), ada pula tradisi yang dinamakan dengan Basapa atau Bersafar. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Minangkabau, Ulakan, Pariaman dan sekitarnya untuk menghormati dengan berziarah ke makam seorang ulama besar Ulakan, yakni Syekh Burhanuddin Ulakan pada hari Rabu sesudah tanggal 10 Safar. Syekh Burhanuddin Ulakan adalah khalifah tarekat Syathariyah yang wafat pada hari Rabu, 10 Safar 1111 H.
Tradisi Basapa ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, mirip pula dengan tradisi Bersafar ke makam Upu Daeng Menambon di daerah Sebukit Raya, yang dilakukan oleh masyarakat Menpawah Kalimantan Barat.
Seiring dengan perkembangan zaman dan peredaran waktu, paham masyarakat Banjar terhadap bulan Safar sebagaimana dijelaskan di atas, memang sudah mulai berkurang dan mengalami perubahan, tidak seperti dulu lagi dalam memandang bulan Safar. Namun, tentu saja mereka yang menganggap Safar sebagai bulan “panas, penyakit, penuh bahaya, nahas, sial, jelek” masih ada. Untuk itulah menjadi hal yang signifikan merekonstruksi pemahaman masyarakat terhadap bulan Safar, agar Safar tidak menjadi sebuah mitos dan trauma yang menakutkan. Karena, Dalam catatan sejarah Islam sendiri banyak peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada bulan Safar, antara lain: (1) Berlangsungnya perkawinan antara Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah binti Khuwailid (2) Peperangan pertama yang diikuti Rasulullah Saw, yakni perang ‘Wudan’ atau ‘Abwa’ untuk menentang kekufuran (3) Peperangan Zi Amin dan Bi’ru Ma’unah terjadi pada tahun ke-3 dan ke-4 Hijriyah, di bawah pimpinan Al-Munzir bin ‘Amr As Sa’idiy (4) Perang Khaibar terhadap orang-orang Yahudi, terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah (5) Peperangan Maraj Rahit pada tahun ke-13 H di pinggiran kota Damaskus (Syria) di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid (6) Perlantikan ‘Abd al-Rahman al-Ghafiqiy sebagai Gubernur Andalusia (Spanyol) pada tahun 113 H (7) Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (ulama besar Kalimantan) dilahirkan pada tanggal 15 Safar 1122 H, dan lain-lain. Dengan demikian, bulan Safar tidak selalu identik dengan bulan kejelekan, bulan sial atau tidak memiliki sejarah yang besar.
Alquran dengan tegas menyatakan: “Katakanlah (wahai Muhammad), tidak sekali-kali akan menimpa kami sesuatu pun melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung yang menyelamatkan kami dan kepada Allah jualah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal” (QS. al-Taubah 51). Pada ayat yang lain: “Jika kamu ditimpa musibah, maka katakanlah “Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun”. Inilah sepatutnya yang menjadi pegangan bagi umat Islam dalam memaknai bulan Safar dan hal-hal yang terjadi di dalamnya; memperbanyak amal ibadah, zikir, doa, sedakah, guna lebih mendekatkan diri kepada-Nya. (sumber : http://zuljamalie.blogdetik.com/2009/07/ )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar