" Ini wadah gasan bubuhan kula, amang, julak, ading-ading nang bungas wan langkar. Amun marasa urang Banjar, ayuha umpat babuat disini, lumayan kita maingatakan kisah padatuan bahari sambil balolocoan wan bakukurihingan gasan mahilangakan satres narai "

Sabtu, 12 Maret 2011

MAMANDA

*1. Asal-Usul *

Teater rakyat Mamanda merupakan kesenian asli Suku Banjar di Provinsi
Kalimantan Selatan, Indonesia. Teater ini telah dibawa oleh rombongan
bangsawan Malaka pada tahun 1897 M. Rombongan ini, di samping bermaksud
melakukan kegiatan perdagangan, juga memperkenalkan suatu kesenian baru
yang bersumber dari syair Abdoel Moeloek. Kesenian tersebut kemudian
dikenal dengan sebutan /Badamuluk/. Seiring perkembangan zaman, sebutan
untuk kesenian ini berkembang menjadi /Bamanda/ atau /Mamanda/. Berikut
ini akan dikemukakan terlebih dahulu bagaimana sejarah dan perkembangan
kesenian Mamanda di Kalimantan Selatan.

Sejak masa Kerajaan Negara Dipa, masyarakat Kalimantan Selatan telah
mengenal beberapa jenis kesenian tradisional, seperti  wayang, topeng,
dan joged. Ketika Islam mulai berkembang di Kalimantan Selatan pada
tahun 1550 M, terutama setelah berdirinya Kesultanan Banjar yang
mendapat bantuan dari Kesultanan Demak, kesenian-kesenian tradisional
semakin dikenal rakyat. Pada masa itu, pihak kerajaan memberikan
kebebasan kepada rakyatnya untuk melakukan kegiatan seni dan budaya.
Sehingga, kesenian-kesenian yang bercorak Islam makin berkembang,
seperti seni hadrah, rudat, zapen Arab, dan sebagainya.

Pada tahun 1620 M, tepatnya pada masa pemerintahan Panembahan Batu Putih
(Sultan Rahmatillah), banyak orang mulai mempelajari seni tari dan seni
suara yang diajarkan oleh ahli-ahli seni dari Jawa dan Semenanjung Tanah
Melayu. Perkembangan kesenian di Kalimantan Selatan masih terus
berlanjut. Pada tahun 1701 M, Sultan Banjar pernah mengutus Pangeran
Singa Marta untuk membeli kuda Bima. Selain membeli kuda, Pangeran Singa
Marta ternyata juga menikah dengan seorang Putri Bima yang dikenal
sebagai ahli seni. Mereka kembali ke Kalimantan Selatan dengan membawa
sejumlah kesenian tradisional asal Bima. Mereka menciptakan tari
Jambangan Kaca dan tari Pagar Mayang. Kesenian-kesenian tradisonal kian
dekat di hati rakyat Banjar. Pada masa pemerintahan Pangeran Hidayat
(1845-1859 M), kesenian berkembang dengan sangat pesat. Apalagi,
Pangeran Hidayat merupakan seorang seniman sejati yang sangat
memperhatikan perkembangan kesenian ketika itu.

Pada tahun 1897 M,  rombongan Abdoel Moeloek dari Kesultanan Malaka
datang ke Banjar. Rombongan yang lebih dikenal dengan sebutan Komedi
Indra Bangsawan ini dipimpin oleh Encik Ibrahim bin Wangsa bersama
istrinya, Cik Hawa. Rombongan ini menetap di Banjar hanya selama 10
bulan saja. Meski demikian, kesenian yang dibawa oleh rombongan ini
dengan sangat cepat berpengaruh di Banjar. Hingga akhirnya pada abad
ke-19 M, muncul sebuah kesenian baru bernama /Ba Abdoel Moeloek/ atau
/Badamuluk/ yang diperkenalkan oleh  Anggah Putuh dan Anggah Datu Irang.
Nama kesenian itu berasal dari judul cerita tentang Abdoel Moeloek yang
dikarang oleh Saleha, sepupu Raja Ali Haji. Badamuluk berkembang hingga
ke Pasar Lama Margasari, Periuk (Margasari Ilir), Pabaung, Merapian, dan
Hulu Sungai. Badamuluk semakin memasyarakat. Seiring perkembangan waktu,
masyarakat Banjar lebih senang menyebut kata Mamanda.

Menurut Hermansyah (2007), kesenian Mamanda, sebagaimana pada umumnya
teater rakyat, merupakan karya seni yang tercetus dengan sendirinya
dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kesenian ini dihayati oleh
masyarakat karena memang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri. Pada awal mulanya, masyarakat membutuhkan adanya hiburan.
Lambat laun, mereka juga memerlukan adanya sebuah upacara yang dipadukan
dengan hiburan yang sudah ada. Akhirnya, terciptalah kesenian teater
rakyat Mamanda ini sebagai bentuk hasil karya dan kreativitas umat manusia.

Kesenian rakyat yang muncul sebagai ekspresi kebudayaan masyarakat
biasanya pada masa awal perkembangannya masih sangat sederhana. Ada
banyak bentuk teater yang masih sangat sederhana di Indonesia. Teater
semacam ini biasanya cukup dilakukan oleh satu, dua, atau tiga orang
saja. Pada awal mulanya, teater ini merupakan suatu bentuk sastra
ungkapan yang dinyanyikan dan dalam perkembangannya kemudian
dipertunjukkan dengan diiringi musik-musik tradisi.

Istilah ?Mamanda? berasal dari kata ?/mama/? yang berarti ?paman atau
pakcik? dan kata ?/nda/? sebagai morfem terikat yang berarti
?terhormat?. Jika digabung, Mamanda berarti ?paman yang terhormat?. Kata
paman merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar.
Sapaan ini juga berlaku untuk orang yang dianggap seusia atau sebaya
dengan ayah atau orang tua. Kata ini juga sering digunakan oleh seorang
sultan ketika menyapa mangkubumi atau wazirnya dengan sebutan ?mamanda
mangkubumi? atau ?mamanda wazir?. Kata Mamanda juga sering digunakan
dalam syair-syair Banjar.

Ada dua aliran dalam Mamanda, yaitu:

 1. Aliran Batang Banyu. Aliran ini dipentaskan di perairan atau sungai
    sehingga disebut dengan istilah Mamanda Batang Banyu. Aliran yang
    juga disebut Mamanda Periuk dan berasal dari Margasari ini merupakan
    cikal bakal Mamanda.
 2. Aliran Tubau (lahir pada tahun 1937 M).Aliran yang berasal dari Desa
    Tubau Rantau ini merupakan perkembangan baru dari Mamanda yang kini
    justru sangat terkenal. Aliran ini berkembang pesat di Kalimantan
    Selatan. Dalam pementasannya, cerita yang diangkat tidak bersumber
    dari syair atau hikayat, namun dikarang sendiri dan disesuaikan
    dengan perkembangan zaman. Struktur pertunjukannya masih seperti
    teater pada umumnya, yang dimulai dari ladon atau konom, sidang
    kerajaan, dan cerita. Pementasan aliran ini tidak mengutamakan musik
    atau tari, namun lebih mengutamakan bagaimana isi ceritanya. Aliran
    ini biasanya dipentaskan di daratan sehingga juga dikenal dengan
    sebutan Mamanda Batubau.    

Mamanda kini mengarah kepada perkembangan kesenian yang lebih populer.
Meski begitu, kekhasannya masih tetap terjaga, terutama dalam hal
penggunaan bahasa Banjar, simbolisasi nilai-nilai budaya, dan
pesan-pesan sosial yang disampaikannya. Struktur dan karakteristik yang
menjadi kekhasan Mamanda tidak pernah berubah. Perubahan yang terjadi
biasanya hanya pada soal busana, musik, improvisasi, dan ekspresi
artistiknya.

Teater Mamanda ternyata tidak hanya berkembang di Kalimantan Selatan,
namun juga berkembang pesat di Kutai, Kalimantan Timur, Indonesia.
Sebagaimana akan dibahas di bagian akhir, Mamanda juga berkembang di
Kecamatan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau,
Indonesia. Sebagai informasi singkat, perkembangan Mamanda di Tembilahan
tidak terlepas dari sejarah eksodus sebagian masyarakat Banjar ke daerah
itu.

*2. Bentuk-Bentuk Kesenian Mamanda*

*/2. 1. Struktur Pemain/*

Sebagaimana kesenian tradisional pada umumnya, Mamanda merupakan
ekspresi kesenian yang memperlihatkan sisi karakter pada setiap lakon
yang dipentaskan. Para pemainnya ada yang berperan sebagai tokoh utama
dan ada pula yang berperan sebagai tokoh pendukung. Peran pemain tokoh
utama harus ada pada setiap pertunjukan. Sedangkan peran pemain
pendukung hanya berdasarkan pada cerita yang mengharuskan kehadirannya.
Artinya, kehadiran pemain pendukung hanya ketika dibutuhkan saja.

Tokoh-tokoh utama yang diangkat dalam pementasan Mamanda adalah sebagai
berikut:

 1. Sultan
 2. Mangkubumi
 3. Wazir
 4. Perdana menteri
 5. Panglima perang
 6. Harapan I dan harapan II
 7. Khadam/badut
 8. Sandut/putri

Pemain yang memerankan tokoh sultan harus berperawakan gagah, menarik,
dan memiliki suara yang tegas. Peran mangkubumi adalah menggantikan
kedudukan sultan yang kebetulan sedang ada urusan di luar istana. Wazir
bertugas sebagai penasehat sultan. Perdana menteri biasanya memeriksa
pekerjaan harapan I dan harapan II. Harapan I dan harapan II bertugas
menghias dan mempersiapkan balai persidangan dan menjaga keamanan.
Khadam/badut berperan dalam memberikan hiburan segar kepada para
penonton, terutama kepada putri/sandut.

Tokoh-tokoh pendukung dalam pementasan Mamanda adalah sebagai berikut:

 1. Anak Sultan ?Kurang Satu Empat Puluh?             
 2. Anak muda          
 3. Dayang                                                                
 4. Komplotan bial/penyamun                                   
 5. Raja
    jin                                                                
 6. Orang miskin
 7. Orang tua

*/2. 2. Urutan Turunnya Pemain/*

Urutan turunnya pemain pada pementasan Mamanda sudah tersusun secara
rapi. Sebelum dilangsungkan sidang kesultanan, biasanya pertunjukan
Mamanda dimulai dengan acara /baladon/ atau /ladun/, yaitu acara
pembukaan yang berisi tentang tari-tarian dan nyanyian. Pemain atau
pelaku /ladun/ biasanya berjumlah ganjil, dan ada yang bertindak sebagai
pemimpin atau pengikutnya. Baru setelah itu para pemain turun ke pentas
secara berurutan. Berikut ini adalah urutan turunnya para pemain:

1. Harapan I dan harapan II

Harapan I dan harapan II muncul ke pentas pertunjukan. Ketika baru
sampai sepertiga arena, tepatnya di dekat meja sidang kesultanan, mereka
berhenti sejenak lantas menyebutkan nama, jabatan, dan kemampuannya
masing-masing.

2. Perdana menteri

Perdana menteri berhenti di belakang kedua harapan tersebut. Perdana
menteri menyebutkan nama dan jabatannya. Ia kemudian memeriksa pekerjaan
kedua harapan tersebut.

3. Sultan dan para staf

Setelah mendapatkan laporan dari perdana menteri, sultan memasuki ruang
sidang kesultanan. Ia diikuti oleh para stafnya, yaitu mangkubumi,
wazir, dan perdana menteri. Sesampainya di belakang meja persidangan,
sultan memukul-mukulkan tongkatnya sembari memuji segala pekerjaan
harapan I dan harapan II. Sultan kemudian mengungkapkan nama, jabatan,
dan apa saja seluruh kekuasaannya. Ia menyempatkan diri menyanyikan lagu
yang isinya memuji kesultanannya. Lagu-lagu tersebut misalnya:

/a. Lagu Dua Mamanda Banyu/

/Batari yadan wayuhai lanya pangbastari yadan sayang saying/

/Angkaumu dangar, kasian banarai barpai sayang lanya pang barpari yadan
sayang sayang/

/Salama saya dinagni pang dinagni/

/Salama lanya pang la sayang, yadan sayang sayang/

/Ramai bagaimana, ramai bagaimana, waduhai Ayahnda Wazir nang kusayangi
nagri, dalam lanya pang, la nagri yadan sayang sayang/

/Ramai bagaimana, Ayahnda, Mamanda Mangkubumi nang kusayangi nagri di
dalam lanya la nagri yadan sayang saya/

/b. Lagu Dua Mamanda Tubau /

/Aduhai wazir
Usullah Darmawan
Aduhai wazir
Usullah Darmawan
Cukup atawa bukan
Waduhai uang pemberian
Yalan yalan yalan
Dengan sabanar jua wayuhai nang
Lamak sadang mangatakan
Betalah mangatakan, katakan,
betalah mangatakan
Yalan yalan yalan/

Setelah selesai bernyanyi dan menari-nari, sultan pun memerintahkan para
stafnya untuk ikut bernyanyi dan menari bersama. Suasana sidang menjadi
penuh dengan luapan kegembiraan. Sultan kemudian menyatakan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah bergembira bersamanya.

4. Panglima perang

Jika ternyata sultan memiliki putra-putri, maka mereka diharapkan agar
datang ke sidang sebelum acara dimulai. Kedatangan mereka ke dalam ruang
sidang diiringi oleh dayang-dayang. Sultan kemudian memerintahkan
harapan I dan harapan II untuk menjemput panglima perang ke ruang sidang
kesultanan. Setelah acara sidang kesultanan selesai digelar, para pemain
kembali ke balairung seri yang letaknya tidak jauh dari pentas
pertunjukan. Ketika ada jeda waktu, biasanya acara pertunjukan bisa
diisi dengan tari-tarian.

5. Pemain

Dalam bagian ini, para pemain yang akan diturunkan disesuaikan dengan
bagaimana isi jalannya cerita. Artinya, peran mereka tidak perlu lagi
didasarkan pada tradisi turunnya pemain dalam sidang kesultanan yang
sebelumnya telah usai digelar.

6. Anak Sultan ?Kurang Satu Empat Puluh?

Bagian ini merupakan akhir dari pertunjukan Mamanda. Acara yang digelar
berupa /babujukan/, yaitu semacam acara peminangan terhadap satu atau
beberapa orang putri yang dilakukan oleh anak Sultan ?Kurang Satu Empat
Puluh?. Acara ini dilakukan dengan nyanyian dan tarian, yang juga
diiringi dengan kata-kata rayuan.

Sebagai catatan tambahan, setiap pemain yang diturunkan sering dimulai
dengan penjelasan yang menggunakan monolog tertentu. Monolog yang
diucapkan masing-masing berbeda karena disesuaikan dengan lakon yang
diperankan. Monolog tersebut selalu menjelaskan nama, pangkat, kegagahan
diri, serta tugas dan kewajibannya masing-masing.

*/2. 3. Bahasa/*

Bahasa dalam teater Mamanda digunakan sebagai alat komunikasi untuk
melakukan dialog, sehingga terjadi apa yang disebut dengan alur cerita.
Ada dua macam penggunaan bahasa dalam pertunjukan Mamanda, yaitu:

1. Bahasa di dalam sidang kesultanan

Dialog dalam sidang ini biasanya menggunakan bahasa Melayu dengan dialek
dan struktur bahasa Belanda. Dipergunakannya dialek dan struktur bahasa
Belanda karena Mamanda lahir pada masa penjajahan Belanda.

2. Bahasa di luar sidang kesultanan

Di luar sidang kesultanan biasanya yang digunakan adalah bahasa Banjar.
Bahasa Banjar merupakan perpaduan antara bahasa Melayu dengan bahasa
Jawa Kuno.

*/2. 4. Tata Busana/*

Busana yang digunakan dalam pertunjukan Mamanda adalah busana suku
Banjar. Busana ini terdiri dari busana adat, busana kebesaran, dan
busana sehari-hari golongan bangsawan atau sultan-sultan, orang besar,
orang terkemuka, dan rakyat jelata, yaitu sebagai berikut:

 1. Laung (ikat kepala).
 2. Kamban naga balimbur.
 3. Seluar singkat berliris tepi.
 4. Sabuk, yaitu berupa kain yang ditenun dan bersulam emas, seperti
    sabuk ukal, sabuk miring, dan sabuk panjang di atas lutut.
 5. Baju, yang terdiri dari baju dalam dan baju luar yang diberi sulam
    benang emas. Baju untuk pemain laki-laki dan pemain perempuan
    dibedakan. Pemain perempuan biasanya mengenakan baju kurung dengan
    ketentuan bahwa pada bagian dadanya tidak terbelah, pada bagian
    lehernya diberi lubang, panjangnya hingga lutut, dan juga mengenakan
    sarung tangan kecil. Pemain perempuan juga mengenakan kebaya
    panjang, dengan ketentuan ada sulam benang emas pada pinggirnya, dan
    pada ujung lengannya disusun atau dipasang manik-manik sebanyak tiga
    atau lima buah.

Di samping itu, juga dipergunakan perhiasan Banjar, seperti:

 1. Cucuk baju: pancar matahari, bulan saliris, dan bulu ayam yang
    dibuat dari emas dan perak.
 2. Gelang: gelang kelana, gelang jepon, gelang marjan, dan gelang rantai.
 3. Cucuk galing: daun, kembang sisir, dan kembang goyang.
 4. Kalung atau rantai, misalnya berupa kalung cekak, kalung madapun,
    kalung marjan, dan tabu-tabu karawang.
 5. Hiasan galung: kembang goyang dan untaian kembang melati.
 6. Cincin: cincin agar mayang, cincin batu, dan lain sebagainya.
 7. Rawing: rawing bulus, baitan, kili-kili, dan bonil berumbai.

Secara khusus, berikut ini dijelaskan ciri-ciri pakaian khas Banjar yang
digunakan oleh para pemainnya, yaitu sebagai berikut:

1. Sultan

Sultan mengenakan seluar bersirit tepi, yaitu baju yang disulam dengan
manik-manik. Di bagian tengah tutup kepala dihiasi dengan bulu burung
putih sebagai mahkota sultan.

2. Perdana Menteri

Busana yang digunakan perdana menteri hampir sama dengan busana sultan.
Hanya saja, perdana menteri tidak menggunakan mahkota, bahkan kadang
tidak menggunakan tutup kepala sama sekali.

3. Wazir

Wazir biasanya mengenakan pakaian dalam yang lebih panjang dari pakaian
luarnya. Ia mengenakan penutup kepala yang tidak bersegi, alias bulat.

4. Panglima Perang

Panglima perang mengenakan baju bermanik-manik, yang dilengkapi dengan
senjata pedang. Di bahunya diselendangkan teratai yang terbuat dari
benang emas. Tutup kepalanya berupa laung, bahkan kadang mengenakan topi
polisi saja.

5. Harapan I dan Harapan II

Harapan I dan harapan II mengenakan baju dalam dan baju luar yang mirip
dengan baju koboi, namun dengan ada sedikit manik-maniknya. Mereka
berdua menggunakan senjata dan penutup kepala.

6. Putri

Putri mengenakan kebaya atau kadang baju kurung yang dilengkapi dengan
mahkota di kepalanya.

7. Raja Jin

Raja jin biasanya mengenakan topeng. Jika tidak ada, ia juga bisa
membedaki wajahnya dengan arang atau kapur yang dicampur denga pewarna
merah kesumba.

8. Penyamun

Penyamun mengenakan sebuah topi yang mirip dengan topi dalam pementasan
teater di Barat. Di samping itu, ia juga mengenakan kacamata berwarna
hitam.

9. Anak Muda

Anak muda mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu warna hitam.

*/2. 5. Tata Cara Pementasan/*

Pementasan teater rakyat Mamanda sebenarnya sangat sederhana dan
sifatnya spontan saja. Alat perlengkapan yang digunakan pun juga
sederhana, yang penting disesuaikan dengan tempatnya. Soal tempat bisa
dilakukan di mana saja, asalkan ada panggung pementasan dan ada tempat
duduk untuk para penontonnya. Tidak ada tempat duduk pun bisa jadi,
asalkan ada suatu sudut ruang yang bisa dijadikan sebagai tempat
pementasan.

Alat perlengkapan yang digunakan biasanya hanya berupa meja dan kursi,
yang disusun rapi dan disesuaikan dengan bagaimana isi atau cerita
pertunjukannya. Kadang ada sekat yang memisahkan antara panggung dan
tempat duduk penonton, namun kadang pula tidak ada sekat sama sekali.

Struktur atau urutan pementasannya biasanya dibuka dengan adanya
bunyi-bunyian yang berfungsi sebagai pemberitahuan kepada penonton bahwa
pertunjukan akan dimulai. Pertunjukan di awal biasanya berupa acara
perkenalan dengan nyanyian dan tarian. Setelah itu lakon baru
dipertunjukkan. Proses penyajian lakon dilakukan secara berurutan yang
disesuaikan dengan jalan cerita. Penyajiannya tidak hanya berupa dialog
dan laku, namun juga diringi dengan tarian dan nyanyian. Tidak jarang
cara penyajiannya dibungkus dengan lawakan dan lelucon yang biasanya
muncul secara spontan sebagai bentuk kreativitas para pemainnya sendiri. 

*/2. 6. Sumber Cerita/*

Tipe cerita Mamanda biasanya berupa cerita sejarah, romantis, kritik,
sosial, dan penerangan. Inspirasi dalam penulisan skenario cerita
Mamanda biasanya disarikan melalui hikayat syair, kisah 1001 malam,
buku-buku roman, buku-buku sejarah, cerita rakyat, dan berbagai
problematika kehidupan masyarakat. Melalui sumber-sumber tersebut,
cerita dikemas menjadi kisah hitam-putih, yang memberikan pesan kepada
masyarakat atau penontonnya untuk dapat membedakan mana kebaikan dan
mana kejahatan. Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan pemahaman yang
tuntas tentang isi ceritanya, termasuk pesan baik yang ada di dalamnya.

*/2. 7. Musik Pengiring/*

Pementasan teater Mamanda diringi dengan musik dan nyanyian. Musik
pengiringnya bisa berupa pantun, syair, hikayat, dan dialog tertentu
yang disampaikan dengan cara dilagukan. Lagu-lagu yang sering
dinyanyikan dalam pementasan Mamanda adalah:

Lagu Dua Harapan
Lagu Dua Raja
Lagu Dua Gandut
Lagu Raja Sarik
Lagu Tarima Kasih (Sultan)
Lagu Baladun
Lagu Mambujuk
Lagu Danding
Lagu Nasib
Lagu Tirik
Lagu Japen
Lagu Mandung-mandungan
Lagu Stambul.

*3. Nilai Budaya*

Seni pertunjukan (teater) rakyat Mamanda tidak hanya semata-mata hiburan
saja. Ada sejumlah nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana
pada umumnya, teater ini mencerminkan dan menyoal kehidupan masyarakat.
Menurut Hermansyah (2007), teater rakyat berfungsi bukan saja sebagai
media ekspresi diri para seniman teater ataupun sebagai tempat hiburan
bagi rakyat yang memerlukannya, melainkan juga sebagai alat pendidikan
bagi masyarakat di lingkungan sekitar. Dengan demikian, Mamanda juga
dapat berfungsi sebagai media pendidikan yang sangat berguna bagi
masyarakat umum.

Cerita-cerita yang disajikan dalam pertunjukan Mamanda selalu berisi
tentang masalah-masalah dalam hidup umat manusia. Dari cerita-cerita
tersebut, kita dapat mengambil manfaat atau hikmah, yaitu bagaimana kita
mengenal sejarah kehidupan ini dan bagaimana kita mengambil contoh
kearifan hidup yang baik. Bahkan, cerita-cerita tersebut juga dapat
mengungkapkan alam pikiran masyarakat dan adat-istiadat lingkungannya.
Artinya, melalui pertunjukan kesenian ini, di samping dapat merasakan
keindahan rasa seninya, para penontonnya juga diajak untuk memahami
pengalaman-pengalaman dan sugesti-sugesti yang tersajikan bahwa segala
bentuk perilaku yang jahat, tidak baik, dan tidak jujur, pasti akan
dikalahkan oleh kebenaran. Apa yang tersajikan dalam teater Mamanda
biasanya sering dijadikan sebagai ?panutan? oleh masyarakat dalam
kehidupannya.

Teater Mamanda juga berfungsi sebagai media ?kritik sosial?.
Pemain-pemain Mamanda sering melontarkan kritik dan sindiran perihal
kepincangan yang terjadi di masyarakat. Tentunya, kesenian ini merupakan
media yang sangat menarik untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Dengan kata
lain, kesenian Mamanda bisa berfungsi sebagai media demokratisasi yang
dipadukan dengan nilai-nilai budaya masyarakat.  

*4. Mamanda di Tembilahan*

Teater rakyat Mamanda juga terkenal di Kecamatan Tembilahan, Kabupaten
Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Bagaimana kesenian
pertunjukan Mamanda yang awalnya berasal dari Kalimantan Selatan itu
akhirnya dapat memasyarakat di daerah Tembilahan? Hal itu terjadi karena
pada akhir abad ke-19 ada sebagian masyarakat Suku Banjar dari
Kalimantan Selatan yang menjadi pendatang baru di wilayah Tembilahan,
Indragiri Hilir.

Kehadiran Suku Banjar di Tembilahan tidak terjadi begitu saja yang tanpa
disebabkan adanya unsur manusia dan budayanya. Proses eksodus masyarakat
Suku Banjar ke Tembilahan dilatarbelakangi oleh situasi dan masalah yang
terjadi.   

Suku Banjar yang menetap di Kabupaten Indragiri Hilir terdiri dari
sebelas anak suku, yaitu: Banjar Keluak, Banjar Amuntai, Banjarnegara,
Banjar Kandangan, Banjar Barabai, Banjar Kuala, Banjarmasin, Banjar
Pamengkeh, Banjar Martapura, Banjar Alabio, dan Banjar Rantau. Anak suku
Banjar Keluak, Banjar Amuntai, dan Banjar Kandangan merupakan anak suku
mayoritas yang mendiami Indragiri Hilir. Perpindahan masyarakat Suku
Banjar tersebut tentunya juga dibarengi dengan dibawanya kesenian
Mamanda yang asalnya dari Kalimantan Selatan yang kemudian dikembangkan
di Tembilahan.

Para perantau Suku Banjar yang pertama telah meninggalkan daerah asalnya
(Kalimantan Selatan) sekitar tahun 1859. Perjalanan mereka hingga sampai
di Tembilahan memakan waktu yang sangat panjang. Apa motivasi yang
melatarbelakangi proses eksodus tersebut? Mereka ternyata sedang dalam
tekanan dari kolonialisme Belanda. Apalagi, pada tahun 1859, Belanda
telah menguasai Kerajaan Banjarmasin. Dampaknya, pemerintah Hindia
Belanda menerapkan sistem kerja yang disebut /irakan/, yaitu kerja paksa
yang tidak dapat diupahkan atau diwakilkan kepada orang lain. Karena
tidak ingin ditindas oleh penjajah Belanda, banyak masyarakat di sana
yang kemudian melakukan eksodus ke daerah lain, terutama ke Tembilahan.

Mengapa Tembilahan kemudian jadi pilihan tempat eksodus mereka? Pada
awal mulanya, diperkirakan mereka mendarat terlebih dahulu di Malaysia
dan Singapura. Berdasarkan Perjanjian London tahun 1824, kedua wilayah
tersebut resmi berada dalam kekuasaan Inggris. Mereka berpandangan bahwa
lebih baik hidup dalam kondisi penjajahan Inggris daripada penjajahan
Belanda yang dikenal sangat tidak manusiawi. Politik penjajahan yang
dilakukan Inggris lebih lunak dibandingkan dengan Belanda, sehingga
mereka lebih dapat merasakan kebebasan. Namun, mereka justru merasakan
kehidupan yang tidak enak di sana dan memutuskan untuk melanjutkan
pengembaraan ke daerah lain, yaitu ke Indragiri Hilir. Pada tahun 1885
M, mereka tiba di sana. Wilayah Perigi Raja merupakan tempat singgah
pertama mereka.

Salah satu suku di Tembilahan, Arbain, sebelum tahun 1950 M
(diprediksikan antara tahun 1947-1949) pernah mendirikan Perkumpulan
Mamanda Parit Empat Belas. Pada tahun 1950 M, Encik Arbain menyerahkan
kepemimpinan Mamanda Parit Empat Belas kepada Encik Usman Ancau. Pada
masa Encik Usman Ancau, Mamanda di Tembilahan berkembang pesat. Pada
masa itu, sumber cerita Mamanda masih berasal dari sastra lama, seperti
dari hikayat dan syair. Pada tahun 1960-an, mulai dibuat cerita sendiri
yang sumbernya didasarkan pada perkembangan kehidupan masyarakat ketika
itu. Alat-alat musik tradisonal yang biasa digunakan digabungkan dengan
alat-alat musik modern, seperti biola, gitar, dan akordion.

Ketika terjadi peristiwa 30 S/PKI/1965, aktivitas kesenian mereka
terpaksa harus terhenti. Pada tahun 1967 M, aktivitas Mamanda Parit
Empat Belas diaktifkan kembali oleh Encik Abdul Hamid. Sejak masa itu,
di Tembilahan juga berdiri 12 perkumpulan Mamanda. Namun demikian,
lambat-laun perkumpulan-perkumpulan tersebut menghilang. Hingga kini,
perkumpulan yang masih bertahan adalah Perkumpulan Mamanda Parit Empat
Belas pimpinan Encik Ardani dan Perkumpulan Mamanda Pulau Palas.

(HS/bdy/41/02-08)

*Sumber :*

  * *Asmuni, F Raji.***?Mamanda Nasibmu Kini?, dalam
    http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/7438/92/, diakses
    tanggal 28 Januari 2008.
  * Hermansyah. 2007. /Mamanda Sebuah Teater Eksodus/. Yogyakarta: Balai
    Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu Bekerjasama dengan Penerbit
    Adicita.
  * ?Mamanda yang Makin Pudar?, dalam
    http://www.indomedia.com/bpost/052005/1/ragam/ragam2.htm, diakses
    tanggal 24 Desember 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar