Pengantar
Saban tahun, setiap tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Hijriyah, dalam rangka menyambut dan memperingati Maulid Rasul, masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara dan Pemerintah Kabupaten Tapin selalu menggelar tradisi tahunan, yakni upacara Baayun Anak atau Baayun Maulid. Ketika masih kecil, dan berdiam di salah satu kampung di Kabupaten Tapin Rantau, seingat saya upacara Baayun Anak belum sepopuler sekarang. Boleh jadi tradisi ini mulai populer tahun 1990-an dan dilaksanakan secara besar-besaran pada awal tahun 2000-an. Popularitas tradisi Baayun anak ditandai dengan ditetapkannya upacara ini oleh Pemerintah Kabupaten Tapin sebagai agenda tahunan pariwisata daerah, publikasi berbagai tulisan yang mengungkap sejarah dan prosesi tradisi ini, serta berbagai penelitian yang dilakukan oleh kalangan akademisi.
Hal menarik yang perlu diungkap dalam kegiatan ini adalah apakah Baayun Anak sebagai kegiatan ritual ataukah prosesi budaya? Jika kita menyebutnya ritual Baayun Anak, berarti ia terkait dengan paham, ajaran, keyakinan suatu agama, yang memiliki konsekuensi tertentu bagi mereka yang melaksanakan atau tidak melaksanakannya, tetapi jika kita menyebutnya prosesi budaya, maka ia hanyalah sebuah kegiatan budaya yang sudah mentradisi dan biasa dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat.
Sejarah dan Muatan Nilai
Sebagai sebuah tradisi yang saban tahun digelar, Baayun Anak sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya yang berharga untuk dikaji secara komprehensif. Menurut catatan sejarah, Baayun Anak semula adalah upacara peninggalan nenek moyang yang masih beragama Kaharingan. Sejarawan Banjar, H. A. Gazali Usman menyatakan tradisi ini semula hanya ada di Kabupaten Tapin (khususnya di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara). Namun kemudian, berkembang dan dilaksanakan diberbagai daerah di Kalimantan Selatan.
Tradisi ini menjadi penanda konversi agama orang-orang Dayak yang mendiami Banua Halat dan daerah sekitarnya, yang semula beragama Kaharingan kemudian memeluk agama Islam. Karena itu upacara Baayun Anak tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke daerah ini.
Sebagaimana diketahui, setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu. Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.
Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upacara adalah Balai.
Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhirnya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Sehingga jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan Sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam (Usman, 2000: 5)
Realitas ini menandai dan menjadi pelajaran penting bagi juru dakwah sekarang, bahwa kehadiran dakwah pada prinsipnya tidak hanya menjadikan manusia yang didakwahi (mad’u) sebagai seorang Muslim, akan tetapi juga menjadikan etos, budaya, adat-istiadat, semangat, prilaku, pola hidup, sistem, dan semua yang melingkupi kehidupan masyarakat agar sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, jika gerakan menyeru manusia kepada ajaran Islam agar mereka menjadi seorang muslim diistilahkan dengan “dakwah”, sedangkan gerakan untuk menjadikan Islam sebagai pola dasar serta pijakan bagi kehidupan manusia disebut dengan istilah “Islamisasi”. Inilah yang disinggung oleh Alquran dengan perintah agar kita masuk ke dalam Islam secara kaffah, tidak hanya keyakinan (agama) akan tetapi juga sistem hidup.
Dialektika Agama dan Budaya
Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo (1991), agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya; nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama. Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, Islam memberikan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama) dan akikah (penyembelihan hewan) bagi anak tersebut, sementara kebudayaan lokal urang Banjar yang dikemas dalam bentuk tradisi baayun anak yang disandingkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau maulid Rasul (sehingga kemudian menjadi Baayun Maulid) memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan agar anak yang diayun menjadi anak yang berbakti, anak yang saleh, yang mengikuti Nabi Saw sebagai uswah hasanah dalam kehidupannya kelak.
Baayun anak adalah proses budaya yang menjadi salah satu simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki ajaran agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah simbol agama dan menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah kecintaan sekaligus pembumian sosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi pembawa Islam, untuk mengikuti ajaran dan petuahnya. Sedangkan baayun anak penterjemahan dari manifestasi tersebut, karena dalam baayun anak terangkum deskripsi biografi Nabi Saw sekaligus doa, upaya, dan harapan untuk meneladaninya.
Baayun anak juga wujud nyata geneus lokal dalam menterjemahkan hadits dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buaian (ayunan). “Tuntutlah ilmu dari sejak dalam buaian (ayunan) hingga liang lahat”. Ilmu yang dituntut adalah ilmu yang telah dianjurkan oleh Nabi; mencakup ilmu dunia dan ilmu akhirat. “Barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan (kebahagiaan) di dunia, maka tuntutlah ilmu; dan barangsiapa yang ingin mendapatkan kebaikan di akhirat, maka tuntutlah ilmu; dan barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan di kedua-duanya, maka tuntutlah ilmu” (HR. Imam Muslim).
Berdasarkan kenyataan di atas, yang dikehendaki dari terjadinya dialektika antara agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sama-sama menguntungkan, katakanlah win-win solution, bukan hal-hal yang menegangkan, apalagi merugikan. Sebab, harmonisasi antara keduanya; agama akan memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.
Oleh karenanya, ketika terjadi ketegangan dan pertikaian, disebabkan oleh seni, tradisi, budaya lokal atau adat-istiadat yang tidak sejalan dengan agama, diperlukan rekonsialisasi melalui sentuhan dakwah, yang sekarang dikenal sebagai pendekatan dakwah kultural. Dakwah kultural adalah dakwah bijak untuk mempertemukan (mengislamisasikan) tradisi budaya agar tidak bertentangan dengan ajaran agama. Jadi, dakwah kultural tidak hanya sebatas mengunakan medium seni budaya (Azyumardi Azra, 2003). Atau sebagai suatu upaya menyampaikan ajaran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat (Hussien Umar, 2003). Namun, dakwah kultural menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan dakwah Islam (Munir Mulkhan, 2003). Sehingga, dengan begitu, sebuah tradisi tetap akan terjaga dan lestari, dan tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana halnya dengan tradisi baayun anak.
Dengan demikian, baayun anak adalah salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama. Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, ataupun membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama. Kedua ritus, secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan baayun anak, yang bahkan secara khusus dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal (bulan Maulid) sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Inilah dialetika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya.
Sehingga dengan model relasi yang seperti itu mereka tetap menjaga dan melestarikan sebuah tradisi dengan prinsip “setiap budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup”, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecintaan umat kepada Nabi Muhammad Saw, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berpemerintahan.